Selasa, 17 April 2012

FIQIH MAWARIS


BAB I
HUKUM KEWARISAN


A. Pengertian Ilmu Mawaris
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, ada beberapa hal yang perlu diketahui menyangkut ilmu pengetahuan itu sendiri, karena hal ini akan membantu untuk mendapat gambaran sepintas tentang ilmu yang akan dipelajari. Beberapa hal yang berkaitan yang dimaksud adalah: definisi, objek kajian, peletak ilmu, pengambilan dasar hukum, nama ilmu, hukum, permasalahan yang dimuat, kaitan dengan ilmu lain (nisbah), faidah mempelajarinya, dan tujuan.[1] Demikian pula yang harus diketahui dalam ilmu Faraidh.  Para ulama memberikan nama lain dari Ilmu Mawaris dengan nama Ilmu Faraidh (علم الفرائض) dan mereka memberikan definisi dengan pengertian berikut:
هُوَ فِقْهُ اْلمَواَرِيْثِ  وَ عِلْمُ اْلحِسَابِ  الْمُوْصِلِ  ِلَمْعرِفَةِ مَا َيُخصُّ  كُلُّ ذِىْ حَقٍّ  ِمنَ التِّرْكَةِ
“Ilmu Mawarsi adalah ilmu pengetahuan tentang pewarisan dan ilmu hitung yang dapat menyampaikan untuk mengetahui apa-apa yang khusus bagi setiap orang yang memiliki hak dalam pewarisan”[2]

Dari pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa Ilmu Mawaris itu merupakan pemahaman atau pengetahuan tentang harta pusaka (warisan). Sebagian ulama memberikan definisi yang tidak jauh beda, namun lebih sempurna daripada definisi di atas dengan ungkapan:
َاْلفِقْهُ  اَلْمُتَعَلِّقُ بِاْلإِرْثِ وَ مَعْرِفَةِ اْلِحسَابِ  ْالمُوْصِلِ إِلىَ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ ْالوَاجِبِ مِنَ التِّرْكَة ِ  لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ
“Ilmu Fiqh yang berhubungan dengan pembagian pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka itu, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk masing-masing pemilik harta pusaka”[3]

Kata Faraidh pada “Ilmu Faraidh” (علم الفرائض) adalah merupakan bentuk jama’ dari Faridhah dan memiliki arti yang berbeda, sebagai yang digunakan al-Qur’an dalam beberapa kesempatan, yaitu:
1. Ketentuan (التقدير), seperti firman Allah:
وَ إِنْ طَلَقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ  تَمَسُّوهُنَّ  وَ قَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فرِْضَة ً فَنِصْفُ  مَا فَرَضْتُمْ
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sesbelum kamu bercampur dengan mereka padahal sessungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”.[4]

2. Ketetapan pasti ( القطع), seperti firman Allah:
ِللرِّجَالِ   نَصِيْبٌ   ِمَّما تَرَكَ  الْوَالِدَانِ وَ  اْلأَقْرَبُوْنَ وَ  لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِداَنِ وَ الأَقْرَبُوْنَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًأ مَفْرُوْضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan[5]

3.  Menurunkan (الانزال) seperti firman Allah:
إِن َّالَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ اْلقُرْآَنَ   لَرادَّكِ  إِلَى   مَعَادٍ  ج قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَى  وَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلاَل ٍمُّبِْينٍ
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakanhukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”.[6]

4.   Penjelasan (التبيين) seperti firman Allah:
قَدْ فَرَضَ اللهُ  لَكُمْ تَحِلَّةَ  أَيْمَانِكُمْ ج  وَ اللهُ  مَولَىكُمْ صلى  وَ هُوَ الْعَلِيْمُ الْحَكيْمُ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian kamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah pelindungmu dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[7]

5.  Penghalalan (الإحلال), seperti firman Allah:
ماَ كَانَ   عَلَى النَّبِيِّ   مِنْ  حَرَجٍ  فِيْمَا فَرَضَ  اللهُ لَهُ صلى  سُنَّةَ اللهِ فِى الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ج  وَكَانَ  أَمْرُ اللهِ  قَدْرًا مَقْدُورًا
“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlaku dahulu). Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti.”[8]

6.  Pemberian (العطاء), seperti kata-kata yang diungkapkan orang Arab:
َلأَصَبْتُ مِنْهُ  فَرْضًا وَ لاَ قَرْ ضًا
“Sesungguhnya aku telah memperoleh darinya suatu pemberian bukan pinjaman”.[9]

Keenam makna dari kata al-Faraidh adalah hampir semakna, dan dapat digunakan dalam ilmu Faraidh, sebab apa yang ditentukan Allah bagi hamba-Nya merupakan pemberian, penghalalan, dan ketentuan yang diturunkan Allah.[10] Selanjutnya pembahasan dalam ilmu Faraidh adalah seputar harta warisan beserta yang berkaitan dengan harta warisan tersebut. Peletak ilmu Faraidh adalah Allah melalui al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh al-Sunnah. Sementara hukum mempelajari ilmu Faraidh adalah diperselisihkan ulama’, ada yang menghukumkan Wajib ‘Ainiy atau Wajib Kifa’iy.[11] Timbulnya hukum tersebut karena adanya anjuran Rasulullah sebagaimana dalam hadist berikut:
قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ قَالَ لِي رَسُولُ اللهَِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  "تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ. وَالْعِلْمُ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِي فَرِيضَةٍ  لاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ
“Ibnu Ma’sud bertutur: “Rasulullah bersabda kepadaku:  “pelajarilah ilmu dan ajarkan kepada orang lain, pelajarilah ilmu Faraidh dan ajarkan kepada orang lain, pelajarilah al-Qur’an dan ajarkan kepada orang lain, karena sesugguhnya aku adalah seorang yang akan meninggal, demikian juga ilmu itu akan tercabut sekaligus bentuk fitnah akan tampak, sehingga dua orang akan berselisih dalam masalah faraidh tidak akan menemukan seorang yang dapat memutuskan (perkara) antara mereka[12]

Dalam hadist lain Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  )صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(   " َتعَلَّمُوا  الْفَرَائِضَ  وَ عَلِّمُوْه ُ فَإِنَّهُ  نِصْفُ  اْلعِلْمِ  وَ  إِنَّهُ  يُنْسَى  وَ هُوَ  أَوَّلُ  مَا يُنْزَعُ  مِنْ أُمَّتي
“Rasulullah bersabda: “Pelajarilah (ilmu) Faraidh dan ajarkan kepada orang-orang, karena ia merupakan sebagian dari ilmu, dan (ilmu) yang akan dilupakan orang. Ilmu yang akan pertama kali dicabut dari  umatku”[13]

Perintah dalam hadist di atas adalah perintah yang mengarah kepada wajib, hanya saja kewajiban itu menjadi gugur apabila ada seorang yang telah melaksanakannya. Akan tetapi apabila tidak ada seorangpun yang melaksanakannya, maka orang Islam sendiri akan menanggung dosa, karena meninggalkan perintah tersebut.[14] Tujuan utama ilmu Faraidh adalah menyampaikan hak warisan kepada pemiliknya, dan faidah (kegunaannya) adalah menentukan bagian bagi pemiliknya.[15]


B.  ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN
Setiap ilmu tentunya memiliki asas tertentu yang menjadi ciri khas dalam disiplinnya. Demikian juga ilmu waris Islam memiliki asas yang khusus yang digali dari sumbernya sebagaimana yang dijelaskan berikut. Asas kewarisan yang terdapat dalam sumber hukum Ilmu Faraidh, baik yang digali dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah dapat dikalsifikasi menjadi beberapa bagian, antara lain adalah:[16]
a.       Asas Ijbari. Kata Ijabari secara bahasa dapat diartikan “paksaan”, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal ini hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendiri. Artinya pemberi waris tidak memiliki perbuatan hukum baik untuk menolak atau menghalanginya terjadinya peralihan harta tersebut. Dengan kata lain, bahwa dengan meninggalnya pemberi waris maka hartanya langsung dapat berpindah tangan kepada penerima warisan, apakah ia suka menerima atau tidak dengan tampa perkecualian. Ijbar ini dapat dilihat pada tiga sisi: 1). Segi peralihan harta. 2). Segi jumlah harta yang beralih. 3). Segi penerima warisan. Ketentuan asas ini bersumber pada firman Allah an-Nisa’ (4) ayat 7: dimana kata  “Nashib" pada ayat yang dimaksud  dapat berarti saham, jatah, bagian dari harta peninggalan si pewaris sebagaimana yang dimaksud ayat tersebut. Ayat 7 (tujuh) yang dimaksud adalah:
ِللرِّجَالِ   نَصِيْبٌ   ِمَّما تَرَكَ  الْوَالِدَانِ وَ  اْلأَقْرَبُوْنَ وَ  لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِداَنِ وَ الأَقْرَبُوْنَ مِمّا قَلَّ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًأ مَفْرُوْضًا
Artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan. [17].
b.      Asas Bilateral, yaitu seorang dapat menerima hak warisan dari dua jalur; ibu dan ayah. Asas ini secara tegas ditemui dalam ketentuan al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 7 di atas dan berikut  11 –surat al-Nisa'- seperti berikut:
يُوصِيكُمْ االلهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنْ الله ِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya:
Allah perintahkan kamu mengenai (pembahagian harta pusaka untuk) anak-anak kamu, iaitu bahagian seorang anak elaki menyamai bahagian dua orang anak perempuan. Tetapi jika anak-anak perempuan itu lebih dari dua, maka bahagian mereka ialah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si mati. Dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka bahagiannya ialah satu perdua (separuh) harta itu. Dan bagi ibu bapa (si mati), tiap-tiap seorang dari keduanya: satu perenam dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, jika si mati itu mempunyai anak. Tetapi jika si mati tidak mempunyai anak, sedang yang mewarisinya hanyalah kedua ibu bapaknya, maka bahagian ibunya ialah satu pertiga. Kalau pula si mati itu mempunyai beberapa orang saudara (adik-beradik), maka bahagian ibunya ialah satu perenam. (Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat yang telah diwasiatkan oleh si mati, dan sesudah dibayarkan hutangnya. lbu-bapa kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antaranya yang lebih dekat serta banyak manfaatnya kepada kamu (Pembahagian harta pusaka dan penentuan bahagian masing-masing seperti yang diterangkan itu ialah) ketetapan dari Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.[18]

Demikian juga beberapa ayat berikut ini, seperti ayat 12 (dua belas) surat al-Nisa' berikut:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوْ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ  مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنْ اللهِ وَاالله ُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya:
Dan bagi kamu satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu jika mereka tidak mempunyai anak. Tetapi jika mereka mempunyai anak maka kamu beroleh satu perempat dari harta yang mereka tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang mereka wasiatkan dan sesudah dibayarkan hutangnya. Dan bagi mereka (isteri-isteri) pula satu perempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Tetapi kalau kamu mempunyai anak maka bahagian mereka (isteri-isteri kamu) ialah satu perlapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang kamu wasiatkan, dan sesudah dibayarkan hutang kamu. Dan jika si mati yang diwarisi itu, lelaki atau perempuan, yang tidak meninggalkan anak atau bapa, dan ada meninggalkan seorang saudara lelaki (seibu) atau saudara perempuan (seibu) maka bagi tiap-tiap seorang dari keduanya ialah satu perenam. Kalau pula mereka (saudara-saudara yang seibu itu) lebih dari seorang, maka mereka bersekutu pada satu pertiga (dengan mendapat sama banyak lelaki dengan perempuan), sesudah ditunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh si mati, dan sesudah dibayarkan hutangnya; wasiat-wasiat yang tersebut hendaknya tidak mendatangkan mudarat (kepada waris-waris). (Tiap-tiap satu hukum itu) ialah ketetapan dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Penyabar.[19]
Selanjutnya yang dijadikan sandaran juga adalah ayat 176 surat al-Nisa' sebagai berikut:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلْ اللهُُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنْ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللهُُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
Mereka  meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: “Allah membei fatwa kepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempnyia saudara perempuan, maka baginyanya seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mepusakainya jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orng, maka bagi keduanya dua pertiga dari  harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki-laki dan perempaun, maka bahagian saudara laki-laki sebanyak bahagian dua saudara perempuan. Allah menreankan kepada kamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[20]

Dalam beberapa ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang dapat mewarisi warisan keluarganya, baik dari pihak laki-laki dan perempuan.
c.       Asas Individual, yaitu bahwa setiap orang berhak atas bagian yang didapatinya tampa terkait dengan ada atau tidak adanya pada ahli waris lainnya. Dengan demikian bagian yang diperoleh seorang dari harta warisan adalah dapat dimiliki secara perorangan dan tidak ada sangkut pautnya ahli waris lain terhadap harta yang diterimanya, sehingga ia memiliki kebebasan penuh terhadap harta yang diterimanya. Ketentuan atas asas ini adalah berdasarkan ayat 7 surat al-Nisa’, dimana disana dijelaskan bagian masing-masing orang.
d.      Asas Keadilan Berimbang, yaitu asas yang mengarahkan kepada perimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan, sehingga faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Hal ini berbeda dengan yang diberlakukan pada adat yang dikenal dengan garis keturunan patrinial, yaitu garis keturunan yang ditarik dari keturunan bapak.[21] Sementara dasar hukum asas peimbangan ini adalah surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176 sebagaimana telah disebutkan.
e.       Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian, yaitu bahwa hukum waris Islam memandang terjadinya pewarisan semata-semata disebabkan adanya kematian yang pemberi warisan. Sementara harta yang diberikan pada saat pemberi warisan masih hidup bukanlah dinamakan harta warisan, melainkan hibah atau wasiat
Itulah asas pokok Ilmu Mawaris Islam, bila salah satu dari asas itu tidak terpenuhi maka jelas tidak dikatakan Ilmu Waris Islam. Keberadaan Ilmu Mawaris dengan segala asas yang dikandungnya adalah bersumber dari beberapa sumber yang akan dijelaskan berikut.
C.  SUMBER HUKUM WARIS
Ilmu Waris Islam adalah merupakan bagian dari ilmu Fiqh. Tentu ia memiliki sumber sebagaimana layak Ilmu Fiqh lainnya. Ilmu Waris bersumber dari sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. yang diperkuat oleh Ijma ulama. Al-Qur’an sebagai sumber pertama menjelaskan secara jelas hak-hak penerimaan warisan dari harta warisan yang ditinggalkan, seperti yang dijelaskan dalam berbagai ayat, seperti ayat 7, 11, 12 dan 176 dari surat al-Nisa’, dan surat lainnya.  Disamping itu ilmu Mawaris Islam bersumber dari al-Hadist, seperti hadist yang diriwayatkan al-Dairamiy:
قَالَ النَِّبيُّ  صَلَّى اللهُ  عَليَْهِ  وَ سَلَّمَ: " اِلْحَقُوا  اْلفَرَائِضَ  بِأَهْلِهَا،  فَمَا بَقِيَ فَهُوَ  ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ"
“Nabi bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.[22]

Selain hadist di atas itu, Ijma’ juga merupakan salah satu sumber dari ilmu Mawaris, karena banyak hal yang menjadi kesepakatan ulama yang diterapkan dalam pembagian harta warisan, seperti:
a.       Status pembagian warisan antara kakek dan saudara-saudara. Dalam al-Qur’an hal ini tidak dijelaskan, akan tetapi menurut kebanyakan ulama dengan cara mengikuti pandangan Zaid bin Sabit, bahwa bagian kakek harus mendapat bagian yang paling menguntungkan, dari beberapa  cara: Muqasamah (bagi rata), 1/6 seluruh harta peninggalan, 1/3 sisa, jika mereka bersama zawil furudh lainnya dan jika mereka tidak bersama zawil furudh mereka menerima muqasamah dan  1/3 seluruh harta.[23]
b.      Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang bakal menerima warisan bersama saudara-saudara ayah cucu yang meninggal tadi. Menurut undang-undang Hukum Waris Mesir setelah mengadopsi pandangan ulama Salafi dan Khalafi, bahwa cucu tadi mendapat warisan dengan jalan wasiat wajibah.[24] Misalnya ada seorang meninggal dunia (A), dia mempunyai dua orang anak (B) dan (C) dimana  (C) ini telah meninggal lebih dahulu sebelum (A) meninggal dan memiliki anak (D). Maka harta peninggalan si (A) diambil seluruhnya (B) sebab ia menghijab cucu (D). Tetapi, susugguhnya ia akan mendapatkan bagian ayahnya bila ayahnya masih hidup, oleh karena itu ia diberikan dengan jalan wasiat wajibah[25]
D.  HUBUNGAN DENGAN HUKUM WARIS NASIONAL
Hukum waris Islam merupakan bagian hukum yang diberlakukan bagi orang-orang yang memeluk agama Islam, sebab di Indonesia diberlakukan pada umumnya beberapa hukum waris, diataranya:
1.      Untuk warga negara golongan Indonesia asli, pada perinsipnya berlaku hukum adat sesuai dengan daerah masing-masing.
2.      Untuk warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam di berbagai daerah diberlakukan hukum Islam yang sangat berpengaruh.
3.      Bagi orang Arab pada umumnya berlaku hukum Islam secara keseluruhan.
4.      Bagi orang-orang Tionghoa dan Erofa berlaku hukum warisan dari Gugerlijik Wetboeh.[26]


SEBAB DAN
PENGHALANG WARISAN

A.   SEBAB-SEBAB KEWARISAN
Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama telah menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada tiga:[27]        
a.       Nasab (النسب) atau hubungan kekerabatan. Nasab ini dapat berupa hubungan orang tua dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan lainnya, dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada orang tua. Hal ini berdasarkan firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ß÷èt/ (#rãy_$ydur (#rßyg»y_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sùنن óOä3ZÏB 4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ  
“Dan orang-orang yang beriman sesudahmu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[28]

b.  Perkawinan (الزواج). Seorang mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَ لَكُمْ  نِصْفُ  مَا تَرَكَ  أَزْوَاجُكُمْ...الآية
Dan bagi kamu seprdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu”[29]

Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat saling mewarisi dengan ketentun sebagai berikut:
1.      Perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah menurut agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli, disamping itu, perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan yang tidak sah.[30] Oleh karena itu, bila salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan mendapatkan dari ibunya.
2.      Perkawinan itu dalam posisi:
a.       Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih utuh –tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-. Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya perkwinan semata mata dengan matinya salah seorang suami-istri.

1 komentar: