BAB
I
HUKUM
KEWARISAN
A. Pengertian Ilmu Mawaris
Dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, ada beberapa hal yang perlu diketahui menyangkut
ilmu pengetahuan itu sendiri, karena hal ini akan membantu untuk mendapat
gambaran sepintas tentang ilmu yang akan dipelajari. Beberapa hal yang
berkaitan yang dimaksud adalah: definisi,
objek kajian, peletak ilmu, pengambilan dasar hukum, nama ilmu, hukum,
permasalahan yang dimuat, kaitan dengan ilmu lain (nisbah), faidah
mempelajarinya, dan tujuan.[1]
Demikian pula yang harus diketahui dalam ilmu Faraidh. Para ulama
memberikan nama lain dari Ilmu Mawaris dengan nama Ilmu Faraidh (علم الفرائض) dan mereka memberikan definisi dengan
pengertian berikut:
هُوَ فِقْهُ اْلمَواَرِيْثِ وَ عِلْمُ اْلحِسَابِ الْمُوْصِلِ
ِلَمْعرِفَةِ مَا َيُخصُّ كُلُّ
ذِىْ حَقٍّ ِمنَ التِّرْكَةِ
“Ilmu Mawarsi adalah ilmu pengetahuan tentang
pewarisan dan ilmu hitung yang dapat menyampaikan untuk mengetahui apa-apa yang
khusus bagi setiap orang yang memiliki hak dalam pewarisan”[2]
Dari pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa Ilmu Mawaris
itu merupakan pemahaman atau pengetahuan tentang harta pusaka (warisan).
Sebagian ulama memberikan definisi yang tidak jauh beda, namun lebih sempurna
daripada definisi di atas dengan ungkapan:
َاْلفِقْهُ اَلْمُتَعَلِّقُ بِاْلإِرْثِ وَ مَعْرِفَةِ
اْلِحسَابِ ْالمُوْصِلِ إِلىَ مَعْرِفَةِ
ذَلِكَ وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ ْالوَاجِبِ مِنَ التِّرْكَة ِ لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ
“Ilmu Fiqh yang berhubungan dengan
pembagian pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan
kepada pembagian harta pusaka itu, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
wajib dari harta peninggalan untuk
masing-masing pemilik harta pusaka”[3]
Kata Faraidh pada “Ilmu Faraidh” (علم الفرائض) adalah merupakan bentuk jama’ dari Faridhah
dan memiliki arti yang berbeda, sebagai yang digunakan al-Qur’an dalam
beberapa kesempatan, yaitu:
1. Ketentuan (التقدير),
seperti firman Allah:
وَ إِنْ
طَلَقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ وَ قَدْ فَرَضْتُمْ
لَهُنَّ فرِْضَة ً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu
sesbelum kamu bercampur dengan mereka padahal sessungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu”.[4]
2. Ketetapan pasti ( القطع), seperti firman Allah:
ِللرِّجَالِ نَصِيْبٌ
ِمَّما تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَ اْلأَقْرَبُوْنَ وَ لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِداَنِ وَ الأَقْرَبُوْنَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًأ
مَفْرُوْضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi istri ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
yang telah ditetapkan”[5]
3. Menurunkan (الانزال)
seperti firman Allah:
إِن َّالَّذِيْ
فَرَضَ عَلَيْكَ اْلقُرْآَنَ لَرادَّكِ إِلَى
مَعَادٍ ج قُلْ رَبِّي
أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَى وَ مَنْ
هُوَ فِيْ ضَلاَل ٍمُّبِْينٍ
“Sesungguhnya yang mewajibkan
atasmu (melaksanakanhukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu
ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk
dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”.[6]
4. Penjelasan (التبيين)
seperti firman Allah:
قَدْ فَرَضَ اللهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ ج وَ اللهُ
مَولَىكُمْ صلى وَ هُوَ
الْعَلِيْمُ الْحَكيْمُ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu sekalian kamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah pelindungmu dan Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.[7]
5. Penghalalan
(الإحلال), seperti firman
Allah:
ماَ كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ
حَرَجٍ فِيْمَا فَرَضَ اللهُ لَهُ صلى سُنَّةَ اللهِ فِى الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ
قَبْلُ ج وَكَانَ
أَمْرُ اللهِ قَدْرًا مَقْدُورًا
“Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa
yang telah ditetapkan Allah baginya (Allah telah menetapkan yang demikian)
sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlaku dahulu). Dan ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti.”[8]
6.
Pemberian (العطاء), seperti
kata-kata yang diungkapkan orang Arab:
َلأَصَبْتُ مِنْهُ فَرْضًا وَ لاَ قَرْ ضًا
“Sesungguhnya aku telah memperoleh darinya suatu pemberian bukan
pinjaman”.[9]
Keenam makna dari kata al-Faraidh adalah hampir
semakna, dan dapat digunakan dalam ilmu Faraidh, sebab apa yang ditentukan Allah
bagi hamba-Nya merupakan pemberian, penghalalan, dan ketentuan yang diturunkan
Allah.[10] Selanjutnya
pembahasan dalam ilmu Faraidh adalah seputar harta warisan beserta yang
berkaitan dengan harta warisan tersebut. Peletak ilmu Faraidh adalah Allah
melalui al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh al-Sunnah. Sementara hukum
mempelajari ilmu Faraidh adalah diperselisihkan ulama’, ada yang menghukumkan Wajib
‘Ainiy atau Wajib Kifa’iy.[11]
Timbulnya hukum tersebut karena adanya anjuran Rasulullah sebagaimana dalam
hadist berikut:
قَالَ ابْنُ
مَسْعُودٍ قَالَ لِي رَسُولُ اللهَِّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَعَلَّمُوا
الْعِلْمَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ
تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ.
وَالْعِلْمُ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِي
فَرِيضَةٍ لاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يَفْصِلُ
بَيْنَهُمْ
“Ibnu Ma’sud bertutur: “Rasulullah bersabda kepadaku: “pelajarilah ilmu dan ajarkan kepada orang
lain, pelajarilah ilmu Faraidh dan ajarkan kepada
orang lain, pelajarilah al-Qur’an dan ajarkan kepada orang lain, karena
sesugguhnya aku adalah seorang yang akan meninggal, demikian juga ilmu itu akan
tercabut sekaligus bentuk fitnah akan tampak, sehingga dua orang akan
berselisih dalam masalah faraidh tidak akan menemukan seorang yang dapat memutuskan
(perkara) antara mereka”[12]
Dalam hadist lain Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُوْلً اللهِ )صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:(
" َتعَلَّمُوا
الْفَرَائِضَ وَ عَلِّمُوْه ُ
فَإِنَّهُ نِصْفُ اْلعِلْمِ
وَ إِنَّهُ يُنْسَى
وَ هُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ
مِنْ أُمَِّتي
“Rasulullah bersabda: “Pelajarilah (ilmu) Faraidh dan ajarkan
kepada orang-orang, karena ia merupakan sebagian dari ilmu, dan (ilmu) yang
akan dilupakan orang. Ilmu yang akan pertama kali dicabut dari ummatku”[13]
Perintah dalam hadist di atas adalah perintah yang
mengarah kepada wajib, hanya saja kewajiban itu menjadi gugur apabila ada
seorang yang telah melaksanakannya. Akan tetapi apabila tidak ada seorangpun
yang melaksanakannya, maka orang Islam sendiri akan menanggung dosa, karena
meninggalkan perintah tersebut.[14]
Tujuan utama ilmu Faraidh adalah menyampaikan hak warisan kepada
pemiliknya, dan faidah (kegunaannya) adalah menentukan bagian bagi pemiliknya.[15]
B. ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN
Setiap ilmu tentunya memiliki asas tertentu yang
menjadi ciri khas dalam disiplinnya. Demikian juga ilmu waris Islam memiliki
asas yang khusus yang digali dari sumbernya sebagaimana yang dijelaskan
berikut. Asas kewarisan yang terdapat dalam sumber hukum Ilmu Faraidh, baik
yang digali dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah dapat dikalsifikasi menjadi
beberapa bagian, antara lain adalah:[16]
a. Asas Ijbari. Kata Ijabari secara bahasa dapat diartikan
“paksaan”, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal ini
hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seorang yang telah meninggal
dunia kepada yang masih hidup dengan sendiri. Artinya pemberi waris tidak
memiliki perbuatan hukum baik untuk menolak atau menghalanginya terjadinya
peralihan harta tersebut. Dengan kata lain, bahwa dengan meninggalnya pemberi
waris maka hartanya langsung dapat berpindah tangan kepada penerima warisan,
apakah ia suka menerima atau tidak dengan tampa
perkecualian. Ijbar ini dapat dilihat pada tiga sisi: 1). Segi peralihan
harta. 2). Segi jumlah harta yang beralih. 3). Segi penerima warisan. Ketentuan
asas ini bersumber pada firman Allah an-Nisa’ (4) ayat 7: dimana kata “Nashib" pada ayat yang dimaksud dapat berarti saham, jatah, bagian dari harta
peninggalan si pewaris sebagaimana yang dimaksud ayat tersebut. Ayat 7 (tujuh)
yang dimaksud adalah:
ِللرِّجَالِ نَصِيْبٌ
ِمَّما تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَ اْلأَقْرَبُوْنَ وَ لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ
الْوَالِداَنِ وَ الأَقْرَبُوْنَ مِمّا قَلَّ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًأ مَفْرُوْضًا
Artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut yang
telah ditetapkan. [17].
b. Asas Bilateral, yaitu seorang dapat menerima hak warisan dari dua
jalur; ibu dan ayah. Asas ini secara tegas ditemui dalam ketentuan al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 7 di atas dan berikut 11 –surat
al-Nisa'- seperti berikut:
يُوصِيكُمْ االلهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ
لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ
أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا
فَرِيضَةً مِنْ الله ِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya:
Allah perintahkan kamu mengenai (pembahagian harta
pusaka untuk) anak-anak kamu, iaitu bahagian seorang anak elaki menyamai
bahagian dua orang anak perempuan. Tetapi jika anak-anak perempuan itu lebih
dari dua, maka bahagian mereka ialah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh si mati. Dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka bahagiannya ialah
satu perdua (separuh) harta itu. Dan bagi ibu bapa (si mati), tiap-tiap seorang
dari keduanya: satu perenam dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, jika si
mati itu mempunyai anak. Tetapi jika si mati tidak mempunyai anak, sedang yang
mewarisinya hanyalah kedua ibu bapaknya, maka bahagian ibunya ialah satu
pertiga. Kalau pula si mati itu mempunyai beberapa orang saudara
(adik-beradik), maka bahagian ibunya ialah satu perenam. (Pembahagian itu)
ialah sesudah diselesaikan wasiat yang telah diwasiatkan oleh si mati, dan
sesudah dibayarkan hutangnya. lbu-bapa kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak
mengetahui siapa di antaranya yang lebih dekat serta banyak manfaatnya kepada
kamu (Pembahagian harta pusaka dan penentuan bahagian masing-masing seperti
yang diterangkan itu ialah) ketetapan dari Allah; sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.[18]
Demikian juga beberapa ayat berikut ini, seperti ayat
12 (dua belas) surat
al-Nisa' berikut:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا
تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ
وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا
أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ
وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً
أَوْ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنْ اللهِ وَاالله
ُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya:
Dan bagi
kamu satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu jika
mereka tidak mempunyai anak. Tetapi jika mereka mempunyai anak maka kamu
beroleh satu perempat dari harta
yang mereka tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang mereka wasiatkan dan
sesudah dibayarkan hutangnya. Dan bagi mereka (isteri-isteri) pula satu
perempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak.
Tetapi kalau kamu mempunyai anak maka bahagian mereka (isteri-isteri kamu) ialah
satu perlapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang
kamu wasiatkan, dan sesudah dibayarkan hutang kamu. Dan jika si mati yang
diwarisi itu, lelaki atau perempuan, yang tidak meninggalkan anak atau bapa,
dan ada meninggalkan seorang saudara lelaki (seibu) atau saudara perempuan
(seibu) maka bagi tiap-tiap seorang dari keduanya ialah satu perenam. Kalau
pula mereka (saudara-saudara yang seibu itu) lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu pada satu pertiga (dengan mendapat sama banyak lelaki dengan
perempuan), sesudah ditunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh si mati, dan
sesudah dibayarkan hutangnya; wasiat-wasiat yang tersebut hendaknya tidak
mendatangkan mudarat (kepada waris-waris). (Tiap-tiap satu hukum itu) ialah
ketetapan dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Penyabar.[19]
Selanjutnya yang dijadikan sandaran juga adalah ayat
176 surat
al-Nisa' sebagai berikut:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلْ
اللهُُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنْ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ
وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا
وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ
كَانُوا إِخْوَةً رِجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللهُُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ “
Artinya:
Mereka meminta
fatwa kepadamu. Katakanlah: “Allah membei fatwa kepada kamu tentang kalalah:
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempnyia saudara
perempuan, maka baginyanya seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mepusakainya jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orng, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka
saudara-saudara laki-laki dan perempaun, maka bahagian saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua saudara perempuan. Allah menreankan kepada kamu supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[20]
Dalam beberapa ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang
dapat mewarisi warisan keluarganya, baik dari pihak laki-laki dan perempuan.
c. Asas Individual, yaitu bahwa setiap orang berhak atas bagian yang
didapatinya tampa
terkait dengan ada atau tidak adanya pada ahli waris lainnya. Dengan demikian
bagian yang diperoleh seorang dari harta warisan adalah dapat dimiliki secara
perorangan dan tidak ada sangkut pautnya ahli waris lain terhadap harta yang
diterimanya, sehingga ia memiliki kebebasan penuh terhadap harta yang
diterimanya. Ketentuan atas asas ini adalah berdasarkan ayat 7 surat al-Nisa’, dimana
disana dijelaskan bagian masing-masing orang.
d. Asas Keadilan Berimbang, yaitu asas yang mengarahkan kepada perimbangan antara
hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan, sehingga
faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Hal ini berbeda
dengan yang diberlakukan pada adat yang dikenal dengan garis keturunan
patrinial, yaitu garis keturunan yang ditarik dari keturunan bapak.[21]
Sementara dasar hukum asas peimbangan ini adalah surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176
sebagaimana telah disebutkan.
e. Asas Kewarisan Semata Akibat
Kematian, yaitu bahwa hukum waris
Islam memandang terjadinya pewarisan semata-semata disebabkan adanya kematian
yang pemberi warisan. Sementara harta yang diberikan pada saat pemberi warisan
masih hidup bukanlah dinamakan harta warisan, melainkan hibah atau wasiat
Itulah asas pokok Ilmu Mawaris Islam, bila salah satu
dari asas itu tidak terpenuhi maka jelas tidak dikatakan Ilmu Waris Islam.
Keberadaan Ilmu Mawaris dengan segala asas yang dikandungnya adalah bersumber
dari beberapa sumber yang akan dijelaskan berikut.
C. SUMBER HUKUM WARIS
Ilmu Waris Islam adalah merupakan bagian dari ilmu
Fiqh. Tentu ia memiliki sumber sebagaimana layak Ilmu Fiqh lainnya. Ilmu Waris
bersumber dari sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. yang
diperkuat oleh Ijma ulama. Al-Qur’an sebagai sumber pertama menjelaskan secara
jelas hak-hak penerimaan warisan dari harta warisan yang ditinggalkan, seperti
yang dijelaskan dalam berbagai ayat, seperti ayat 7, 11, 12 dan 176 dari surat al-Nisa’, dan surat
lainnya. Disamping itu ilmu Mawaris
Islam bersumber dari al-Hadist, seperti hadist yang diriwayatkan al-Dairamiy:
قَالَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ
عَليَْهِ وَ سَلَّمَ: "
اِلْحَقُوا اْلفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا،
فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى
رَجُلٍ ذَكَرٍ"
“Nabi bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang
berhak. Sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.[22]
Selain hadist di atas itu, Ijma’ juga merupakan salah
satu sumber dari ilmu Mawaris, karena banyak hal yang menjadi kesepakatan ulama
yang diterapkan dalam pembagian harta warisan, seperti:
a. Status pembagian warisan antara
kakek dan saudara-saudara. Dalam al-Qur’an hal ini tidak dijelaskan, akan
tetapi menurut kebanyakan ulama dengan cara mengikuti pandangan Zaid bin Sabit,
bahwa bagian kakek harus mendapat bagian yang paling menguntungkan, dari
beberapa cara: Muqasamah (bagi
rata), 1/6 seluruh harta peninggalan, 1/3 sisa, jika mereka bersama zawil
furudh lainnya dan jika mereka tidak bersama zawil furudh mereka
menerima muqasamah dan 1/3 seluruh
harta.[23]
b.
Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang
bakal menerima warisan bersama saudara-saudara ayah cucu yang meninggal tadi.
Menurut undang-undang Hukum Waris Mesir setelah mengadopsi pandangan ulama
Salafi dan Khalafi, bahwa cucu tadi mendapat warisan dengan jalan wasiat
wajibah.[24]
Misalnya ada seorang meninggal dunia (A), dia mempunyai dua orang anak (B) dan
(C) dimana (C) ini telah meninggal lebih
dahulu sebelum (A) meninggal dan memiliki anak (D). Maka harta peninggalan si
(A) diambil seluruhnya (B) sebab ia menghijab cucu (D). Tetapi, susugguhnya ia
akan mendapatkan bagian ayahnya bila ayahnya masih hidup, oleh karena itu ia
diberikan dengan jalan wasiat wajibah[25]

Hukum waris
Islam merupakan bagian hukum yang diberlakukan bagi orang-orang yang memeluk
agama Islam, sebab di Indonesia
diberlakukan pada umumnya beberapa hukum waris, diataranya:
1. Untuk
warga negara golongan Indonesia
asli, pada perinsipnya berlaku hukum adat sesuai dengan daerah masing-masing.
2. Untuk
warga negara golongan Indonesia
asli yang beragama Islam di berbagai daerah diberlakukan hukum Islam yang
sangat berpengaruh.
3. Bagi orang Arab pada umumnya
berlaku hukum Islam secara keseluruhan.
4. Bagi orang-orang Tionghoa dan
Erofa berlaku hukum warisan dari Gugerlijik Wetboeh.[26] ●
[1]Ahmad
al-Shawiy al-Maliki, Hasyiah al-’Allamah al-Shawi ‘Ala
Tafsir al-Jalalain, (Indonesia:
Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt), jilid I: hlm.2
[2]Sayyid
Muhammad bin Ali al-Musawiy, al-Nafhah al-Hasaniyah ‘Ala
al-Tuhfah al-Sanniyah Fi Ilm al-Faraidh, (Surabaya: Syirkag Bengkulu Indah, tt), hlm.5
[3]Muhammad
al-Khathib al-Syarbiniy, Mughni al-Muhtaj ‘Ila Ma’rifat Ma’ani ‘Al-Fazh
al-Minhaj, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), jilid III: hlm 3
[4]al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 237
[5]al-Qur’an surat al-Nisa’ (4): 7
[6]al-Qur’an surat al-Qashah (28): 85
[7]al-Qur’an surat al-Tahrim (66): 2
[8]al-Qur’an surat al-Ahzab (33): 38
[9]Qasim bin
Abdillah bin Amir Ali al-Quzuwi, Anis al-Fuqaha’ Fi Ta’rif al-Alfazh
al-Mutadawilah Bain al-Fuqaha’ (Jiddah: Dar al-Wafa’, 1406H), hlm.49
[10]
Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung:
al-Ma’arif, 19870, hlm. 32
[11]Sayyid
Muhammad bin Ali al-Musawiy, al-Nafhah al-Hasaniyah,…, hlm.2
[12]Abdullah bin
Abdurrahman Abu Muhammad al-Dairamiy, Sunan al-Dairamiy, (Bairut: Dar al-Kitab
al-‘Arabiy, 1407 H), jilid I: hlm, 83
[13]Muhammad bin Abdillah Abu
Abdillah al-Hakim al-Nisaiburiy, al-Mustadarak ‘Ala al-Shahain, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1990), jilid IV: hlm 369
[14]Fathurrahman,
Waris,…., hlm. 15
[15]Sayyid
Muhammad bin Ali al-Musawiy, al-Nafhah,,…,hlm.5
[16]Amir
Syarifuddin, Hukum Waris Islam, (…. 1984), hlm, 18
[17] Al-Qur'an Surat al-Nisa' (4)
Ayat 7.
[18]Al-Qur'an Surat al-Nisa' (4)
Ayat 11 Sebab
turunnya ayat ini adalah adanya laporan istri Sa’id bin Rabi’ kepada Rasulullah
dengan membawa kedua anaknya. Selanjutnya ia bercerita kepada Rasulullah bahwa
ayah kedua anak ini meninggal sebagai syahid pada peperangan bersama
Rasulullah, selanjutnya harta yang dimiliki diambil oleh pamannya, ia tidak
memberikannya. Maka turunlah ayat di atas sebagai jawaban atas peristiwa itu..
Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa 2 (dua) orang anak mencapat 2/3, ibu
mendapat 1/8, dan paman mendapat ashabah. Lihat Syihabuddin Abi al-Fadhal Ahmad
bin ‘Ali, al-‘Ijab Fi Bayan al-Asbab, (al-Damam: Dar al-Jauziy, 1997),
jild II: hlm. 840
[19]Al-Qur'an (al-Nisa') ayat 12.
[20]Al-Qur'an (al-Nisa') ayat
176.
[21]Pius A Partanto dan Dahlan
al-Barriy, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 576
[22]Abdullah bin Abdurrahman Abu Muhammada al-Dairamiy, Sunan
al-Darimiy, (Bairut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1407H), jilid II: hlm. 464
[23]Fathurrahman,
Ilmu Waris…, hlm. 274-277
[24]Ibid, hlm,63
[25]Untuk lebih jelasnya mengenai
Wasiat Wajibah ini Anda dapat melihat Fathurrahman, Ilmu Waris,…
hlm. 186-194
[26]Dian Khairul Umam, Fiqh
Mawaris Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm, 16
Salam kenal...
BalasHapusBlogger sumbawa wajib ikut kontes ini Jelajah SUmbawa dan menangkan hadiahnya :)
Mampir juga ke Catatan si aJie