Bab II
SEBAB-SEBAB HUBUNGAN
DAN PENGHALANG WARISAN
A.
SEBAB-SEBAB KEWARISAN
Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah
tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab
yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama
telah menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada tiga:[1]
a. Nasab (النسب) atau hubungan kekerabatan. Nasab ini dapat
berupa hubungan orang tua dengan anak, saudara, paman, dan bibi, dan lainnya,
dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada orang tua. Hal ini berdasarkan
firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä -ÆÏB ߉÷èt/ (#rãy_$ydur (#r߉yg»y_ur öNä3yètB y7Í´¯»s9'ré'sùنن óOä3ZÏB 4
(#qä9'ré&ur ÏQ%tnö‘F{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4’n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ ’Îû É=»tFÏ. «!$# 3
¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ
“Dan orang-orang yang beriman sesudahmu, kemudian berhijrah dan
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.[2]
b. Perkawinan (الزواج). Seorang mendapatkan harta warisan
dari orang yang meninggal dunia, karena adanya hubungan pernikahan atau
perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau sebaliknya. Hal ini
berdasarkan firman Allah:
وَ
لَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُمْ...الآية
“Dan bagi kamu
seprdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu”[3]
Dalam hubungan perkawinan ini, suami-istri dapat
saling mewarisi dengan ketentun sebagai berikut:
1. Perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan
yang sah menurut agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun
seperti yang diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah
dipergauli, disamping itu, perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak)
oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah
adalah perkawinan yang tidak sah.[4]
Oleh karena itu, bila salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka
saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini hubungan yang disebabkan
perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara pezina, mereka tidak dapat
saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat perzinahan tidak mendapatkan
warisan dari bapaknya, tapi akan mendapatkan dari ibunya.
2. Perkawinan itu dalam posisi:
a. Pemberi waris meninggal dalam
keadaan perkawinan masih utuh –tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-.
Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya
perkwinan semata mata dengan matinya salah seorang suami-istri.
b. Perkawinan telah teputus, tetapi antara suami dan istri masih dalam iddah (masa tunggu yang dibolehkan suami kembali kepada istri dengan tidak membuat
akad baru), yang itu disebut dengan thalaq raj’iy, yaitu masa dimana
suami dapat merujuk kepada istri tampa
membuat akad baru, saksi, wali dan tanpa izin istri tersebut. Dari itu, apabila
pada saat itu salah seorang mati, maka mereka dapat saling mewarisi. Akan
tetapi bila waktu iddah telah habis kemudian
salah seroang meninggal maka hak saling mewaris telah habis dengan sebab
iddah tersebut telah habis.[5]
c. al-Wala’ (pemerdekaan), yaitu kekerabatan
yang disebabkan oleh pemerdekaan yang
dilakukan seorang terhadap budak. Pemerdeka berhak mendapat warisan dari budak
yang dimerdekakan karena ia telah memberikan kesenangan kepadanya dengan jalan
memerdekakan itu sendiri dari perbudakan. Dengan dimerdekakan budak itu,
maka ia mendapatkan kesenangan dengan
kembali sifat “kemanusiaannya” dan berakhirnya anggapan sebagai binatang.[6]
Keberadaan perbudakan ini nampaknya sudah tidak ada lagi di muka bumi, sehingga
keberadaan wala’ sebagai penyebab mendapat warisan dengan sendiri tidak ada
lagi.
B.
PENGHALANG WARISAN
Seorang yang
telah memenuhi persyaratan untuk mendapat harta warisan dari orang yang mati,
seperti adanya ikatan kekeluargaan (nasab), perkawinan, dan wala’ belum tentu ia
berhak mendapatkan warisan apabila ia memiliki sifat penghalang warisan yang
pada dirinya, yaitu sebagai budak, pembunuh, berlainan agama, dan berlainan
negara. Keempat pengahalang ini akan dibahas pada berikut bahasan berikut:
a. Perbudakan.
pada masa lalu memang terjadi perbudakan
manusia yang disebabkan oleh tawanan perang. Akibat dari perbudakan itu
adalah hilangnya sifat “kemanusiaannya
yang merdeka”, tetapi ia dianggap sebagai barang atau binatang yang selalu
tunduk kepada tuannya, bahkan harta yang
dibawanya pun milik tuan. Dasar hukum perbudakan ini sebagai pengahala adalah
adalah firman Allah:
z>uŽŸÑ ª!$# ¸xsVtB #Y‰ö6tã %Z.qè=ôJ¨B žw â‘ωø)tƒ 4’n?tã &äóÓx« `tBur çm»oYø%y—§‘ $¨ZÏB $»%ø—Í‘ $YZ|¡ym uqßgsù ß,ÏÿZムçm÷YÏB #uŽÅ #·ôgy_ur ( ö@yd šc¼âqtGó¡o„ 4 ߉ôJptø:$# ¬! 4 ö@t/ öNèdçŽsYò2r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÐÎÈ
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami
beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu
secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji
hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”[7]
Para
ulama’ memahami ayat di atas bahwa budak itu tidak cakap megurus diri dan hak
milik kebendaan dengan jalan apa saja,
sementara dalam hal pusaka-mempusakai ada pelepasan hak milik kebendaan. Budak
terhalang dari mewarisi dilihat dari 2
(dua) jalan: a. Ia dianggap sebagai benda
milik tuannya, karena itu ia terhalang sebagai penerima warisan
disebabkan ia sendiri sebagai benda milik tuannya. b. Ia dipandang sebagai
orang yang tidak memiliki kekuasaan terhadap benda miliknya, karena itu ia
tidak dapat memberikan warisan kepada ahli warisnya seandainya ia memiliki
kerabat, karena ia sendiri dan hartanya milik tuannya sehingga ia diangga tidak
memiliki harta sedikitpun.[8]
b. Pembunuhan.
Dasar hukum pembunuh tidak mendapat warisan dari orang
yang dibunuhnya adalah hadist Rasulullha yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس للقاتل
شيء وإن لم يكن له وارث فوارثه أقرب الناس إليه ولا يرث القاتل شيئا
Rasulullah bersabda: “Pembunuh (yang membunuh pemebri
warisan) tidak memiliki hak sedikitpun (untuk mewarisi). Jika ia (pemberi
warisan) tidak meninggalkan pewaris maka yang berhak mewarisinya adalah orang
yang paling dekat (hubungan keluarga) dengannya, dan pembunuh itu tidak
mewarisi sesuatu”[9]
Seorang yang telah terbukti sebagai pembunuh pemberi
warisan tidak dapat mewarisi harta peninggalannya. Tetapi tipe pembunuhan
bagaimana yang dapat mengahalangi seorang untuk mendapat harta warisan dari
yang terbunuh masih diperselisihkan ulama’. Bentuk pembunuhan itu ada tiga
macam:
a. القتل العمد, yaitu pembunuhan dengan sengaja dimana
pembunuh bermaksud membunuh terbunuh, dengan terpenuhi syarat sebagai orang
yang berakal dan bermaksud membunuh. Pembunuhan semacam ini bersansikan
“Qishash” dengan syarat:
1. Orang yang akan di-qishash harus
orang berakal dan balig.
2. Sepakatnya keluarga yang terbunuh
untuk di-qishah.
3. Tidak boleh melibihi dalam
melakukan qishash, seperti ditetapkan
orang yang hamil untuk di-qishah,maka harus ditunggu sampai ia
melahirkan.
b. القتل شبه
العمد, yaitu
pembunuhan yang serupa dengan pembunuhan sengaja, mislanya seperti pemukulan dengan menggunakan tongkat
yang ringan, sabuk, atau melempar dengan
batu kecil kemudian seorang mati. Cara seperti ini adalah mirip dengan sengaja
karena adanya dua kemungkinan antara sengaja dan kesahalan. Sanksi pembunuhan
semacam ini adalah berdosa dan diat.
c.
القتل الخطاء, yaitu pembunuhan karena kesalahan pada perbuatan yang boleh
dilakukan oleh sorang yang mukallaf, seperti pemburu yang salah sasaran, pembuat sumur yang
mengakibatkan orang terjatuh mati, dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil atau orang gila.
Pembunuhan semacam ini dikenakan sangsi diyat dan kifarat.[10]
Terhadap macam bentuk pembunuhan di atas
diperselisihkan ulama’, yaitu bentuk pembunuhan yang mana yang dapat
mengahalangi untuk mendapat warisan.
Dalam hal dapat dilihat dalam penjelasan berikut:
a. Menurut azhab Hanafi pembunuhan
yang dapat menjadi penghalang untuk mendapat warisan adalah pembunuhan sengaja,
mirip sengaja, karena kesalahan, dan pembunuhan yang dianggap kesalahan.
Sementara pembunuhan yang tidak dianggap sebagai penghalang adalah pembunuhan
tidang langsung, pembunuhan karena membela hak, pembunuhan karena yang
dilakukan oleh orang yang tidak mukallaf.
b. Menurut Malikiyah pembunuhan yang
dapat menghalagi untuk mendapat warisan adalah pembunuhan dengan sengaja,
pembunuhan mirip sengaja, dan pembunuhan tak langsung. Sementara yang tidak
menjadi penghalang adalah pembunuhan karena kesalahan, dianggap salah, membela
hak, belum mukallaf, dan karena uzur.
c. Menurut ulama Syafi’iyah, bahwa
pebunuhan yang menjadi penghalang untuk mewaris itu adalah segala bentuk
pembunuhan secara mutlak., baik sengaja, tidak sengaja, atau karena kasalahan.
d. Sementara menurut mazhab Hambali
bahwa pembunuhan yang dianggap sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan
adalah pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja, dan tak langsung. Pembunuhan
yang tidak menjadi peghalang menurut mereka adalah pembunuhan karena kesalahan,
dianggap kesalahan, karena membela hak, pembunuhan yang dilakukan oleh orang
tidak mukallaf, dan karena uzur.[11]
c. Berbeda Agama
Yang dimaksud
dengan berbeda agama adalah berbeda keyakinan antara orang yang akan saling
mewarisi, seperti orang yang akan memberi warisan adalah orang yang beragama Islam sementara
orang yang menerima warisan adalah beragama lain, seperti pewarisan kakak dengan
adik, atau anak dengan bapak, atau cucu dengan kakek, dan sebagainya yang
berbeda agama, baik agama Yahudi. Keristen, Hindu, Buda, dan lainnya. Dasar
hukumnya adalah hadist Rasulullullah yang berbunyi:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم
“Nabi bersabda: Seorang muslim tidak dapat (saling)
mewaris dengan orang kafir, dan (demikian juga) orang kafir tidak dapat
(saling) mewarisi dengan orang muslim.[12]
Oleh karena perbedaan agama menjadi penghalang untuk
mendapatkan warisan, maka apabila terjadi pemurtadan dalam sebuah keluarga,
misalnya anak memeluk masuk agama lain, ia tidak berhak menerima pusaka dari
ayahnya (atau lainnya yang dapat saling mewarisi), karena keyakinan yang
berbeda tersebut, sekalipun sebelum pembagian harta warisan dibagikan ia (anak
itu) kembali kepada agama Islam, menurut jumhur ulama. Sementara menurut Imam
Ahmad dalam satu pendapatnya adalah boleh ia menerima, sebab ia sudah keluar
dari sifat murtad tersebut.[13] ●
[1]Sayyid Sabik, Fiqh al-Sunnah,
(Bairut: Dar al-Fikir, 1992), jilid III: hlm.162
[2]al-Qur’an surat al-‘anfal (8): 75
[3]al-Qur’an surat al-‘Nisa’ (4): 12
[4]Fathurrahman, Ilmu Waris…,
hlm. 114
[5] Ibid, hlm.115
[6]Muhammad Ali Ash-Shabuni,
Hukum Waris Islam, terj. Sarmin Syukur
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 55
[7]Qs,
an-Nahl (60): ayat 75. Maksud dari
perumpamaan ini ialah untuk membantah orang-orang musyrikin yang menyamakan
Tuhan yang memberi rezki dengan berhala-berhala yang tidak berdaya.
[8]Fathurrahman, Ilmu Waris…,
hlm. 85
[9]Abu Daud, Sunan Abi Daud,
(Bairut: Dar al-Fikir, tt), jilid IV: hlm. 189
[10]Sayyid Sabik, Fiqh,….hlm, 438
[11] Fathurrahman, Ilmu Waris…,
hlm. 94
[12]Muslim, Shahih Muslim,
(Bairut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arabiy, tt) jilid III: hlm 1233
[13]Fathurrahman, Ilmu Waris…,
hlm. 98
terimaksai atas ilmu sodara.
BalasHapus