BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertiam
Akad (Kontrak)
Dalam istilah hukum kontrak, kontrak
merupakan suatu istilah asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”,
sedangkan dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak
dan bukan merupakan istilah asing.[1]
dalam konsep fiqih Mu’amalah kontrak
lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan antar ijab
dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan mempunyai dampak
terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[2]
Istilah perjanjian atau kontrak
dalam bahasa Indonesia, atau aqad dalam bahasa Arab atau dalam istilah hukum
Islam berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[3]
Sebagai suatu istilah dalam hukum
Islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada aqad atau perjanjian sebagai
berikut:
1. Menurut pasal 262 Mursyid al-
Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak
dengan Kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.[4]
2. Aqad adalah pertalian ijab
(pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai
dengan kehendak Syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.[5]
3. Aqad adalah pertemuan antar ijab dan
Kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu
akibat hukum pada objeknya.[6]
Dari definisi di atas memperlihatkan
bahwa, pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul
yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh
salah satu pihak, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra
akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak akan
terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama
lain, karena akad adalah keterkaitan kehendak keduabelah pihak yang tercermin
dalam ijab dan qabul. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak
karma akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak
dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad
adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum, lebih tegas lagi tujuan akad adalah
maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui
pembuatan akad.
Secara umum tujuan akad dapat
dikategorikan menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Pemindahan milik dengan imbalan
ataupun tanpa imbalan (at-Tamlik).
2. Melakukan pekerjaan (al-‘amal).
3. Melakukan persekutuan (al-Isytirak).
4. Melakukan pendelegasian (at-Tafwidh).
5. Melakukan penjaminan (at-Tautsiq).
Pemindahan milik meliputi pemindahan
milik atas benda dan pemindahan milik atas manfaat. Jual-beli adalah akad untuk
memindahkan milik atas benda dengan imbalan. Hibah adalah pemindahan milik atas
benda tanpa imbalan. Sewa-menyewa adalah pemindahan milik atas manfaat dengan
imbalan. Pinjam pakai adalah akad pemindahan milik atas manfaat benda tanpa
imbalan. Muzaraah adalah akad untuk melakukan pekerjaan. Mudharabah
adalah akad untuk melakukan persekutuan modal dan usaha guna membagi hasilnya. Wakalah
(pemberian kuasa) adalah akad untuk melakukan pedelegasian. Kafalah
(penanggungan) adalah akad untuk melakukan penjaminan.
Untuk merealisasikan hukum pokok
akad, maka para pihak memikul beberapa kewajiban yang sekaligus merupakan hak
pihak lain. Misalnya, dalam akad jual-beli, penjual berkewajiban menyerahkan
barang yang merupakan hak pembeli, dan pembekli berkewajiban menyerahkan harga
yang merupakan hak penjual. Hak dan kewajiban ini disebut hak-hak akad, dan
disebut juga akibat hukum tambahan akad. Akibat hukum tambahan akad ini
dibedakan menjadi dua macam, yaitu akad hukum yang ditentukan oleh syari’ah dan
akibat hukum yang ditentukan oleh para pihak sendiri.
B.
Asas-asas Kontrak / Perjanjian (Akad)
1.
Asas Ibahah (Mabda’
al-Ibahah)
Asas
Ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini
dirumuskan dalam “pada asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada
dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku
dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakn-tindakan ibadah berlaku
asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan
dalam dalil-dalil syari’ah. Orang tidak dapat membuat-buat bentuk baru ibadah
yang tidak pernah ditetukan oleh Nabi SAW. Bentuk-bentuk baru ibadah yang
dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi SAW. Itu disebut bid’ah dan tidak
sah hukumnya.
Sebaliknya,
dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala
sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu.
Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti
bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada
larangan khusus mengenai perjanjian tersebut.
2.
Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad (mabda’ hurriyyah
at-Ta’aqud)
Hukum
Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyetakan
bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada
nama-nama yang telah dientukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukkan
klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya
sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan bathil. Namun demikian,
dilingkungan mazhab-mazhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai
luas sempitnya kebebasan tersebut. Nash-nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Serta kaidah-kaidah hukum Islammenunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas
kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan konkretisasi lebih jauh
dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam Mu’amalah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 sebagai
berikut:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4‘n=÷FムöNä3ø‹n=tæ uŽöxî ’Ìj?ÏtèC ωøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts† $tB ߉ƒÌムÇÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[7]
dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Maidah :1)
Cara
menyimpulkan kebebasan berakad dari ayat tersebut adalah bahwa menurut kaidah
ushul fiqh (metodologi penemuan hukum Islam), perintah dalam ayat ini
menunjukkan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini
akad disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “Al” (al-‘Uqud).
Menurut kaidah ushul fiqh, jamak yang diberikan kata sandang “Al” menunjukkan
keumuman.[8]
Dengan demikian, dari ayat tersebut
dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama
maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.[9]
3.
Asas Konsensualisme (Mabda’
ar-Radha’iyyah)
Asas
konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan
tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya
formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya
perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.
Para
ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil
hukum berikut:
a. Al-qur’an
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 29)
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%߉|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿ‹ÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.
(Q.S. An-Nisaa’ : 4)
b. Sabda Nabi SAW, Sesungguhnya jual
beli itu berdasarkan kata sepakat (Hadis riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah)[10]
c. Kaidah hukum Islam, pada asanya
perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah
apa yang mereka tetapkan melalui janji[11]
Kutipan
ayat pada angka (1) menunjukan antara lain bahwa setiap pertukaran secara
timbal balik diperbolehkan dan sah selama didasarkan atas kesepakatan. Ayat
pada angka (2) menunjukkan bahwa suatu pemberian adalah sah apabila didasarkan
kepada perizinan (rela hati) si pemberi. Mengenai kedua ayat ini, Ibn Taimiyyah
(w. 728/1328) menyatakan, …dan boleh karena kerelaan hati itulah yang menjadi
sebab dibolehkannya makan mahar, maka seluruh akad Tabaru’ (Cuma-Cuma)
lainnya, dengan jalan melakukan qiyas (analogi) atas dasar ‘illat
yang dinaskan dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an, adalah sama dengan ini. Begitu
juga firman-nya, kecuali (jika makan harta sesasma itu dilakukan) dengan jalan
tukar menukar atas dasar perizinan timbal balik (kata sepakat) dari kamu
hanya mensyaratkan kata sepakat dalam tukar-menukar kebendaan.[12]
Pada
bagian lain Ibn Taimiyyah menegaskan lagi, Allah memandang lagi cukup perizinan
timbal balik untuk jual-beli dalam firman-Nya, “kecuali dengan jalan
tukar-menukar atas dasar perizinan timbal balik dari kamu dan memandang
cukup kerelaan hati (consent) untuk Tabaru’ dalam firman-Nya, kemudian
jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu atas dasar senang
hati (perizinan,consent)maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai suatu
yang sedap lagi baik akibatnya. Jadi ayat pertama adalah mengenai jenis
akad atas beban (muawadah) dan ayat kedua mengenai jenis akad Tabaru’…[13]
Hadis
Nabi SAW. Pada angka (3) dengan jelas menunjukkan bahwa akad jual beli
didasarkan kepada perizinan timbal balik (kata sepakat). Meskipun hanya akad
jual beli saja yang disebutkan dalam hadis ini, namun untuk akad-akad yang lain
diqiyaskan (dianalogikan) kepada akad jual beli, sehingga dengan dasar analogi
itu akad-akad lain juga didasarkan pada kata sepakat.
Kaidah
hukum Islam pada angka (4) secara amat jelas menyatakan bahwa perjanjian itu
pada asasnya adalah kesepakatan para pihak, sehingga bila telah tercapai kata
sepakat para pihak, maka terciptalah suatu perjanjian.
4.
Asas Janji Itu Mengikat
Dalam
Al-Qur’an dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji. Dalam kaidah
usul fiqih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib” ini berarti
bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis dimaksud
adalah:
a. Firman Allah
Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£‰ä©r& 4 (#qèù÷rr&ur ωôgyèø9$$Î/ ( ¨bÎ) y‰ôgyèø9$# šc%x. Zwqä«ó¡tB ÇÌÍÈ
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Al-Israa’ : 34)
b. Asar dari Ibn Mas’ud, janji itu
adalah utang[14]
c. Ayat QS. 5: 1 dan hadis al-Hakim
yang telah dikutip pada sub C. 2. 1) dan 2. 2) di atas
5.
Asas Keseimbanggan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadhah)
Meskipun secara factual jarang
terjadi keseimbangan antaras para pihak dalam bertransaksi, namun hukum
perjanjian Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu,baik keseimbangan
antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam
memikul resiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara apa yang diberikan
dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang
mengalami ketidak seimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan
dalam memikul resikso tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana
dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha,
sementara kreditor bebas sama sekali dan harus mendapatkan prosetase tertentu
sekalipun pada sat dananya mengalami kembalian negatif.
6.
Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Dengan
asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akadsyang dibuat oleh para pihak bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian
(mudrahat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam
pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui
sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga
memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas
yang masuk akal.
7.
Asas Amanah
Dengan
asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beretikad baik dalam
bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak
mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali
objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang
amat spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan,
pihak lain yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya.
Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Profesi
kedokteran, terutama dokter spesialis, misalnya hanya diketahui dan dikuasai oleh
dokter saja.
Masyarakat
umum tidak mengetahui seluk beluk profesi tersebut. oleh karena itu, ketika
seorang pasien sebagai salah satu pihak transaksi akan diterapkan suatu
metode pengobatan dan penaganan penyakaitnya, sang pasien sangat
tergantung kepada informasi dokter untuk mengambil keputusan menjalani metode
tersebut. Begitu pula terdapat barang-barang canggih, tetapi juga mungkin
menimbulkan resiko berbahaya bila salah penggunaannya. Dalam hal ini, pihak
yang bertransaksi dengan objek barang tersebut sangat bergantung kepada
informasi produsen yang menawarkan barang tersebut. Oleh karena itu, dalam
kaitan ini dalam hukum perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak
yang menguasainya untuk memberi informasi yang sejujurnya kepada pihak lain
yang tidak banyak mengetahuinya.
Dalam
hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah,
salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak
lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian beresangkutan.
Di antara ketentuannya, adalah bahwa bohong atau penyembuyian informasi yang
semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian
hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk
menutup perjanjian. Contoh paling sederhana dalam hukum Islam adalah akad
murabahah, yang merupakan salah satu bentuk akad amanah. Pada zaman sekarang
wilayah akad amanah tidak saja hanya dibatasi pada akad seperti murabahah,
tetapi juga meluas ke dalam akad takaful (asuransi) bahkan juga banyak
akad yang pengatahuan mengenai objeknya hanya dikuasai oleh salah satu pihak
saja.
8.
Asas Keadilan
Keadilan
adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam,
keadilan langsung merupakan perintah Al-Qur’an yang menegaskan, sebagaimana
firman Allah berikut ini:
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9ω÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah : 8)
Keadilan
merupakan sendi setiap perjanjian dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman
modern akad ditutup olaeh satu
pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan
negosiasi mengenai klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak
mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang
menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum Islam
konterporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dalat
diubah oleh pengadilan apabila memang ada alas an untuk itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kontrak merupakan suatu istilah
asing dalam bahasa Inggris yaitu “contract”, sedangkan dalam bahasa
Indonesia sebenarnya sudah lama terdapat kata kontrak dan bukan merupakan
istilah asing.[15]
dalam konsep fiqih Mu’amalah kontrak
lebih dikenal dengan sebutan aqad, yang menurut fuqaha berarti perikatan
antar ijab dan qabul dengan cara-cara yang disyari’atkan dan
mempunyai dampak terhadap apa yang diaqadkan tersebut.[16]
2. Asas filosofi kebebasan berkontrak
adalah sebagai berikut:
a. Asas ibahah adalah asas umum hukum
Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “pada
asasnya segala sesuatu itu baleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”.
b. Asas Kebebasan Berkontrak / Berakad
(mabda’ hurriyyah at-Ta’aqud)
c. Asas Konsensualisme (Mabda’
ar-Radha’iyyah)
d. Asas Janji Itu Mengikat
e. Asas Kemaslahatan (Tidak
Memberatkan)
f. Asas Amanah
g. Asas Keadilan
DAFTAR PUSTAKA
TM. Hasbi
Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
Munir
Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Ibn Tamiyyah, M
ajmu’ al-fatawa (Riyad: Matabi’ ar-Riyadh, 1383 H) ,XXIX:155.
Ibn Hibban,
Shahih Ibn Hibban (Beikut: Mu’assasah ar- Raisalah,1414/1993),XI:340, hadfis
no.4967;dan Ibn Majah,sunan Ibn Majah (Berikut: Dar al-Fikr, t.t.), II:737,
hadis no.2185.
Muhammad Abu
zahrah, Ushul al-Fiqih (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.)
Prof. Dr. Syamsul
Anwar, M.A. Hukum Perjanjian Syari’ah (study tentang teori aqad dalam fiqih
muamalah, Jakarata, PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Munir Fuady, Hukum
Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001.
TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar
Fiqih Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974.
[1] Munir
Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.
[3] Ahmad
Abu al-Fath, Kitab al-Muamalat fi as-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin
al-Mishriyyah, Mesir, Matba’ah al-Busfir, 1913, I: 139; Lihat juga
Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Mesir, Mushtafa al-Babii al-Halabi, 1964,
II: 4
[4] Basya,
Mursyid al-Hairan ila Ma’rifah Ahwal al-Insan, Kairo, Dar al-Furjani,
1403/1983, hlm. 49.
[6] Prof.
Dr. Syamsul Anwar, M.A. Hukum Perjanjian Syari’ah (study tentang teori aqad
dalam fiqih muamalah, Jakarata, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 68
[7] Aqad
(perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya
[9] Lihat
tafsir ayat ini dalam at-thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an
(Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Muthbu’at, 1970), V:158
[10] Ibn
Hibban, Shahih Ibn Hibban (Beikut: Mu’assasah ar- Raisalah,1414/1993),XI:340,
hadfis no.4967;dan Ibn Majah,sunan Ibn Majah (Berikut: Dar al-Fikr, t.t.),
II:737, hadis no.2185
[14] Asar ini diriwayatkan secara maukuf oleh
al- Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Sedangkan at-Tabani dalam al-Mu’jam
al-Ausat dan al-Mu’jam ash-shagir meriwayatkannya secara marfuk dari Nabi SAW.
Melalui sahabat ‘Ali. Lihat at-Tabani, al-Mu’jam al-Ausat (kairo: Dar
al-Haramin, 1415 H), IV:23; dan al-Ausat (Beirut-Amman: al-Maktab al-Islami dan
Dar ‘Amman,1985), I:256. selain itu juga diriwayatkan secara marfuk oleh
al-Qudha’I dalam musnad asy-Syihab (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1986), I:40.
riwayat marfuk ini didaifkan oleh para ahli hadis. Lebih lanjut komentar
mengenai hadis ini lihat al-Manawi, faidh al- Qadir (Mesir:al-Maktabah
at-Tijariyyah al-Kubra,1356
[15] Munir
Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2